Sunday, July 13, 2014

Visi

Bertahun-tahun yang lalu, saat Ligwina mulai "mengindonesia" alias menjadi "ibu" financial planner panutan masyarakat middle class di Indonesia, saya langsung terkesan dengan jargon "Tujuan Lo Apa" yang selalu beliau utarakan. Hingga sekarang.

Di luar urusan perencanaan keuangan, jargon ini menjadikan saya mulai berpikir lebih serius tentang masa depan. Apa ya visi alias tujuan hidup saya?

Apa yang dicari?
Kehidupan yang selama ini sudah saya terima dengan cukup, engga mewah, tapi engga kurang. Keluarga Sederhana, istilah yang sering keluarga kami pakai.
Pendidikan yang cukup, lulus SMA dan sedang menjalani perkuliahan (saat itu). Jauh lebih beruntung dibandingkan orang-orang lain yang belum mendapatkan kesempatan yang sama.
Punya pasangan yang baik dan pengertian.

Tapi, mau sampai kapan?
Apa iya, mau selamanya dalam naungan orang tua?
Apa iya, mau melanjutkan kuliah S2, S3, sampai profesor tanpa ada tujuan yang terencana?
Apa iya, selamanya mau single-not-available?

Kalau selama ini udah memperoleh sedemikian banyak, seharusnya juga mulai berpikir untuk memberi. Selama ini memperoleh didikan, bimbingan, dan naungan yang cukup dari orang tua. Setelah ini berarti giliran saya yang mendidik, membimbing, dan menaungi keluarga.
Kalau selama ini udah memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak, ada masanya di mana insya Allah nanti giliran anak yang akan saya curahkan dengan pendidikan yang lebih layak lagi.
Kalau udah punya pasangan, maka kenapa masih berpikir untuk tidak settle?

Lho, ternyata lambat laun pemikiran itu mengerucut ya.
Saya ingin di usia 23-24 menjalani hidup bahagia bersama keluarga. Happily ever after, hingga akhir hayat :)
Gambaran idealnya adalah:
  1. Orang tua punya value yang diajarkan untuk anak-anak, tetapi dengan pendekatan diskusi
    Masa kecil yang pernah saya alami, penuh dengan keingintahuan. Sayangnya, tidak sedikit lingkungan yang mengajar dengan metode doktrinase, seolah "yang junior ikutin ajalah jangan banyak nanya, toh isu itu udah sejak dulu kita tau begitu adanya". Sayang sekali kalau potensi anak menjadi terbatas, pengetahuannya sebatas yang diketahui oleh pendahulu aja. 
  2. .
  3. Anak berhak atas diri orangtuanya yang terbaik
    Sedikit menyambung yang poin 1 tadi, inginnya punya banyak hal yang bisa dibagi ke keluarga. Waktu yang seimbang, pengetahuan yang baik (ga melulu urusan ilmu pengetahuan dan akademik aja, tapi juga hal-hal geje sekalipun selama itu baik), dan menjadi contoh yang baik (apalagi anak adalah peniru yang sangat baik).
Dan ketika saya menuliskan post ini, ternyata tanpa terasa udah di gerbang menuju visi itu. Udah membentuk keluarga kecil yang settle.
Lalu pe-er besarnya adalah segera memulai dan menjalaninya dengan konsisten. Emang mudah untuk diucapkan/ dituliskan, tapi engga akan kemana-mana kalau belum diusahakan. Bismillah :)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...